Kamis, 16 November 2017

Kontribusi Ilmuwan Muslim dalam Eksplorasi Luar Angkasa

Kontribusi Ilmuwan Muslim dalam Eksplorasi Luar Angkasa

Pakar sejarah sains, David A King, dalam The Renaissance of Astronomy in Baghdad in the 9th and 10th Centuries menjelaskan, perkembangan ilmu astronomi dalam peradaban Islam khususnya pada masa awal tak lepas dari pengaruh peradaban India dan Iran.

Perkembangan astronomi dalam peradaban Islam yang terjadi pada abad ke-9 dimulai dengan diterjemahkannya karya-karya utama Almagest oleh para ulama dan ilmuwan. Almagest adalah sumber terpenting mengenai informasi tentang astronomi Yunani kuno.

Para ilmuwan Islam ini belajar dengan cepat menggunakan metode penelitian yang kemudian menghasilkan berbagai penemuan, hingga mencapai puncak kejayaannya sepanjang sejarah peradaban.

Baca Juga >>> Mencari Sains Islam

Menurut Muhammad Gharib Jaudah, bahkan tidak separuh pun dari nilai peradaban itu dapat tertandingi oleh peradaban lain yang telah ada sebelumnya. Peradaban yang besar ini di Barat disebut dengan nama The Islamic Civilization atau peradaban Islam.

Ilmuwan Muslim yang memiliki kontribusi dalam eksplorasi luar angkasa begitu banyak. Proses perkembangan ilmu luar angkasa memiliki kaitan dengan penemuan ilmu matematika dan fisika. Sehingga, ilmuwan yang memiliki peran dalam bidang astronomi begitu banyak.

Di antaranya adalah Muhammad al-Fazari (777 M) yang merupakan astronom resmi pertama Dinasti Abbasiyah. Dia mengoreksi tabel yang ada berdasarkan teks astronomi India Siddhanta yang ditulis oleh Brahmagupta. Kitab ini merupakan rujukan utama hingga masa khalifah al-Ma'mun. Ia juga mengarang beberapa syair astronomis dan dikenal sebagai pembuat astrolab pertama di kalangan Muslim.

Al-Fargani (Alfraganus) sekitar 860 M menulis kitab Ushul al-Falak (prinsip-prinsip astronomi) dan Jawami ilm an-Nujum wa Ushul al-Harakah as-Samawiyyah (penjelasan lengkap tentang bintang dan prinsip-prinsip gerakan langit). 


Buku terakhir ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada 1493 dan menjadi buku rujukan penting bagi Copernicus dalam menyusun teorinya.

Syekh Muhammad Sa'id Mursi dalam Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah menyebutkan, Abbas bin Farnas bin Wardas yang biasa dipanggil Abu Qashim gelarnya Hakim Andalus, dilahirkan di Kordoba pada 194 H dan tumbuh besar di sana. 

Dia orang pertama yang menemukan jam kemudian diberi nama al-Miqatah, juga teropong bintang yang diberi nama Natu al-Halq. Dari teropong tersebut dia menggambar pada dinding rumahnya sistem tata surya mulai dari matahari, bumi, bulan, dan bintang pada orbitnya masing-masing.

Dia juga penemu teori pesawat terbang setelah mempelajari berat jenis dan kekuatan angin. Untuk uji coba, dia mengundang para ilmuwan di Kordoba guna menyaksikan dirinya membuat sayap yang diikat ditangannya, kemudian menerpa angin dan terbang di udara cukup lama. 

Namun, ketika mendarat terjadi kecelakan sehingga melukai punggungnya. Tidak seorang pun yang dapat menafsirkan kitab Arudh karya Khalil kecuali dirinya, sehingga simpul-simpul masalah di dalamnya dapat diuraikan dengan jelas. Pada 274 H dia wafat di Andalusia.


Berikutnya, Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Mahmud al-Khalili al-Miqati. Dia merupakan astronom terkenal yang tinggal di Damaskus pada abad ke 14. 

Dia adalah seorang ilmuwan miqat (ilmu tentang penentuan waktu berdasarkan matahari dan bintang). Dia termasuk salah seorang ilmuwan yang ilmu dan karyanya telah disadur oleh Copernicus.

Dia berhasil membuat jadwal penetapan waktu dengan matahari bagi daerah yang berada di garis lintang Damaskus, jadwal waktu shalat untuk garis lintang yang sama, dan jadwal arah kiblat. 

Di antara karya tulisnya adalah Jadwal al-Qiblah Li al-Halili, Jadwal al-Miqat, Syarh alat ar-Rubu Li al-Khalili, dan Jadwal Fashl ad-Dawair Wa Amal al-Lail W an-Nahar. 

Sumber : Voa Islam

Rabu, 08 November 2017

Mengislamkan Sains: Apanya yang Diislamkan?

Mengislamkan Sains

Hingga saat ini masih banyak pihak yang merasa sangsi dengan keberadaan sains Islam. Tidak sedikit di antara pihak-pihak tersebut adalah Muslim juga. Mereka menganggap wacana sains Islam dan pengislaman sains merupakan sesuatu yang absurd, karena ilmu sains itu netral. Logikanya, menurut mereka, alam itu terlihat sama saja bagi siapa saja, baik orang Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau agama apapun. Seorang ilmuwan di Eropa yang terpisah ribuan kilometer dari ilmuwan Indonesia pastilah akan menemukan kenyataan yang sama jika menyangkut fenomena alam yang sama. Demikian klaim mereka.

Mereka bukan saja pesimis dengan wacana sains Islam, tapi terkadang agak sinis. Sains Islam diolok-olok dengan mengesankan sains Islam tak lain adalah wacana membuat pesawat Islam, komputer Islam, dan teknologi berlabel Islam lainnya. Ada juga yang menuding bahwa sains Islam adalah sains yang dimulai dengan bismillah. Lainnya lagi menuduh sains Islam adalah soal mencocok-cocokkan ayat-ayat al-Qur’an dengan penemuan sains mutakhir kemudian mengklaim bahwa Islam telah lama mengungkap hal tersebut.

Semua ini menunjukkan bahwa para pengkritik itu sebenarnya tidak betul-betul mendalami wacana tersebut. Sebab, sesungguhnya gagasan sains Islam yang dimaksud bukanlah sesederhana itu, meskipun sebagian dari yang disebut di atas termasuk bagian dari sains Islam itu sendiri, tapi karena disampaikan dengan olok-olok maka semua hal tersebut terdengar menggelikan.

Baca Juga : Mencari Sains Islam

Wacana sains Islam adalah wacana yang sangat filosofis yang berakar dari pemikiran mengenai hakikat ilmu di dalam Islam. Maka ketika berbicara ilmu sains, maka disitu terkait dengan apa makna ilmu, tujuan mencari ilmu, penggolongan ilmu, makna kebenaran, tingkatan wujud (realitas), saluran-saluran ilmu, makna alam (yang satu akar kata dengan ilmu), metodologi penarikan kesimpulan, adab-adab menuntut ilmu, dan lain sebagainya. Maka proses islamisasi ilmu alam (sains) tidak lain adalah mengislamkan persoalan-persoalan di atas dengan cara meletakkannya dalam kerangka pandangan hidup Islam (Islamic Worldview).

Mengulas hal di atas secara lengkap tentunya amat sulit jika mengandalkan tulisan yang pendek ini. Tapi sebagai contoh, dapat kami kemukakan bahwa islamisasi sains salah satu maknanya adalah islamisasi mengenai makna alam yang merupakan obyek ilmu sains itu sendiri. Di dalam paradigma sains modern alam adalah benda semata, tidak punya makna ruhani, maka dari itu nilainya sangat rendah. Alam baru mempunyai nilai ketika ia bisa dikuasai dan dimanfaatkan. Maka kata Bacon, ilmu adalah kuasa (knowledge is power), yaitu kuasa untuk menaklukkan dan mengendalikan alam.

Sebaliknya, alam di dalam Islam dikenal sebagai ayat Allah, suatu sebutan yang juga disematkan kepada kalimat-kalimat yang ada di dalam al-Qur’an. Ayat tak lain merupakan sebutan untuk tanda. Istilah tanda adalah refleksi dari keberadaan sesuatu yang lain.

Keberadaan sesuatu yang lain yang dimaksud di sini adalah Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Berulangkali Allah menutup suatu kalimat di dalam al-Qur’an ketika berbicara mengenai fenomena alam dengan pernyataan bahwa semua itu (fenomena alam) adalah ayat-ayat Allah. Artinya, segala bentuk fenomena alam tak lain merupakan cara Allah untuk memperkenalkan dirinya kepada manusia, para hamba-hambanya.

Baca Juga : Sains Islam Bukan Mitos

Makna alam di atas memberikan konsekuensi besar terhadap tujuan mengembangkan ilmu sains. Alam dalam perspektif ini dipelajari tidak lain adalah untuk menangkap pesan-pesan Tuhan. Itu tidak berarti bahwa sains tidak dikembangkan untuk keperluan praktis guna membantu kehidupan manusia. Tetapi sains dalam pandangan Islam tidak hanya dikembangkan untuk keperluan praktis saja, melainkan juga sebagai sarana manusia mengenal Tuhannya sehingga dia menjadi seorang hamba yang baik. Bahkan hal terakhir ini merupakan tujuan terpenting dari belajar sains tersebut.

Cara pandang di atas memberi konsekuensi lanjutan. Tidak seperti yang terjadi di Barat, sains cenderung mendorong orang untuk menjadi agnostik, sekuler, dan atheis. Namun, sains dalam Islam justru mendorong manusia menjadi semakin religius. Sebab prinsip pertama dalam sains Islam adalah pengakuan akan wujud Tuhan lebih dahulu daripada wujud alam dan manusia itu sendiri, beserta sifat-sifat yang menyertai-Nya seperti Maha Esa, Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha Mengatur, Maha Mengetahui, Maha Pengasih, Maha Mulia, dan lain sebagainya.

Sebaliknya, sains modern malah menempatkan Tuhan sebagai obyek yang diragukan keberadaan-Nya, sebaliknya wujud dirinyalah yang pertama kali diakui, sebagaimana ungkapan terkenal Descartes, “Aku berpikir maka aku ada”.

Pengakuan wujud (eksistensi) Tuhan, yang kita sebut beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan sendirinya tidak terpisah dengan pengakuan terhadap ajaran-ajaran-Nya. Sebab iman di dalam Islam bukan hanya bermakna percaya dalam pengertian kognitif, tetapi juga mengejawantah dalam sikap dan perbuatan manusia sebagai wakil Allah (khalifatullah) di bumi. Ungkapan wakil di sini merefleksikan amanah, artinya kehidupan manusia adalah bertujuan untuk menjalankan amanah Allah di bumi.

Maka sains dalam Islam bukan bertujuan untuk menurutkan kemauan manusia, melainkan dalam rangka menunaikan amanah Allah di bumi. Itu sebabnya tujuan dasar sains dalam sejarah Islam dikembangkan untuk kepentingan amal shalih, baik ibadah maupun muamalah. Misalnya, astronomi untuk memperkirakan waktu-waktu ibadah, matematika untuk menghitung warisan, kedokteran untuk menolong manusia, dan lain sebagainya.

Dari uraian yang singkat di atas (meski masih belum lengkap) dapat kita lihat betapa wacana sains Islam atau pengislaman sains bukanlah wacana yang mengada-ada atau utopia belaka. Harus diakui bahwa tidak mudah meyakinkan hal ini sebab mayoritas kita (umat Islam) dididik di dalam paradigma pendidikan yang sekularistik ketika membahas sains. Namun dengan kesungguhan dan ketekunan para ulama dan ilmuwan yang dilandasi dengan niat yang ikhlas, insya Allah, gagasan ini akan terus berkembang dan mendapat tempat di masyarakat. Wallahua’lam.*

Sumber : Hidayatullah
Penulis : Dr. Wendi Zarman

Minggu, 05 November 2017

Sains Islam Bukan Mitos [2]

Fakhruddin al-Razi berpendapat, ilmu alam memiliki prinsip-prinsip yang menjadi dasar kepada pembuktian kepada ilmu alam itu. Prinsip-prinsip itu berasal dari ilmu metafisika dan agama (asy syariat ilahiyah) yang diwahyukan kepada para nabi.

sain islam bukan mitos bagian 2

Dunia Islam pernah memiliki seorang saintis Muslim yang sangat hebat, yaitu Fakhruddin al-Razi. Seorang saintis yang mufassir. Adnin Armas menjelaskan al-Razi telah menulis tentang filsafat, metafisika, kimia, astronomi, fisika dan lain-lain. Ratusan buku telah ia tulis dan salah satunya karyanya yang terkemuka adalah kritiknya tentang Sains Aristotelian. Al-Razi mengiritik konsep Aristotelian tentang esensi benda, esensi gerak, waktu dan esensi ruang. Ia adalah peletak sains non Aristotelian yang kemudian banyak diikuti ilmuan Barat.

Dalam kuliahnya, Paul Lettinck menjelaskan kronologi sebuah teori dari era Yunani, Arab hingga sains modern. Ia menguraikan sebuah teori ilmu astronomi dengan detil dilengkapi gambar-gambar dan rumus-rumus fisika dan matematika. Secara khusus, astronomi, jelas Lettinck menjadi subjek yang sangat ditekankan untuk dipelajari oleh saintis Muslim. Dari teori bumi sebagai pusat tata surya (Ptoleumi) hingga matahari sebagai pusat tata surya diuraikan dengan cukup detil.


Penjelasan kronologis teori optic misalnya, dari era Yunani hingga Ibnu Haitsam, menunjukkan bagaimana perkembangan teori optic di dunia Islam cukup pesat. Teori yang belum mapan di era Yunani kemudian disempurnakan oleh Ibnu Haitsam dan Ibn Sahl dengan baik.

Teori para saintis Muslim tersebut tidak pernah melepaskan dari nilai ketuhanan. Ibnu Haitsam misalnya, ketika mengamati alam dia menjadikan sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala sebagai asumsi. Artinya, seperti dijelaskan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, sains Islam hanya bisa terwujud jika worldview saintisnya sudah Islami. Memang, setiap sains bermula dari metode dan teori hingga produk-produknya yang semuanya tidak netral.

Dalam worldview Islam, realitas tertinggi adalah Tuhan, dan menjadi asas paling dasar dalam aktivitas berpikir termasuk aktivitas keilmuan. Memahami Islam sebagai pandangan hidup berarti memandang Islam sebagai susunan konsep tentang seluruh aspek yang melingkupi kehidupan manusia. Konsep-konsep yang berasas kepada ketuhanan difahami oleh akal manusia dan akhirnya menjelma menjadi disiplin pengetahuan dan pengamalan manusia. Dalam menjalani kehidupan beragama ini, seorang Muslim memiliki pandangan-pandangan terhadap konsep kehidupan, manusia, akhlak, ilmu alam dan lain sebagainya.

Jika konsep-konsep yang berpusat dengan konsep Allah ini berfungsi menjadi alat utama memandang sesuatu, maka seorang Muslim memandang realitas ini dalam kesatuan konsep yang berpusat kepada Tuhan. Maka, apapun keahlian ilmu seorang Muslim; fisikawan, ahli kedokteran, insinyur, ahli ekonomi, teolog, ahli falsafah, faqih, dan lain-lain, jika menggunakan Islam sebagai pandangan hidup, maka ilmu yang terpancar dari akal fikirnya menjadi kekhasan tersendiri sebagai seorang ilmuan Muslim

Seorang saintis Muslim misalnya, dia melakukan kerja-kerja sains-nya, atau aktifitas keilmuannya dengan selalu merasa bersama AllahSubhanahu Wata’ala. Ketika ia merasa bersama Allah Subhanahu Wata’ala itulah dia menggunakan pandangan-pandangan keilmuannya terkait dengan-Nya. Dia melihat peristiwa alam bukan sekedar realitas yang terjadi secara ‘otomatis’. Tapi dia meyakini bahwa dalam peristiwa alam itu ada kuasa Allah Subhanahu Wata’ala. Bahwa alam itu merupakan tanda (alamah) akan kewujudan agung Allah Subhanahu Wata’ala.

Fakhruddin al-Razi berpendapat  bahwa ilmu alam memiliki prinsip-prinsip yang menjadi dasar kepada pembuktian kepada ilmu alam itu. Prinsip-prinsip itu berasal dari ilmu metafisika dan agama (asy syariat ilahiyah) yang diwahyukan kepada para nabi.

Al-Razi sama dengan Imam al-Ghazali, menyatakan bahwa yang menyebabkan terjadinya sesuatu di alam ini adalah Yang Menentukan (Allah). Ini beda dengan pendapat Aristoteles (yang kini diikuti Barat yang berfaham materialisme). Bagi al-Razi, waktu adalah apriori (sudah terbukti dengan sendirinya, bukan iktisabi/ikhtiar manusia). Waktu ada sekalipun gerak tiada. Allah keberadaannya di luar waktu, Allahqiyamuhu binafsihi. Allah yang menciptakan alam, maka Allah lebih dulu dari alam (ini bukan dari sisi waktu, karena Allah di luar waktu). Allah tiap saat selalu mencipta.

Sains di dunia Islam pernah jaya, maka tugas kita melanjutkan, meneruskan dan menyusun proyek besar menyusun basis-basis sains Islam. Dimulai dengan internalisasi filsafat sains Islam, Islamic Worldview dan tentu saja perlu adanya komunitas saintis Muslim. Wendi Zarman yang dosen Fisika itu, dalam seri kuliah sains Islam kemarin sudah mengingatkan salah satu sebab kenapa masih banyak yang menolak sains Islam adalah karena kita belum punya scientis community. Komunitas ini harus dihidupkan agar sains Islam kita wujud. 

Sumber : https://www.hidayatullah.com 
Penulis : A. Kholili Hasib

Sains Islam Bukan Mitos [1]

Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) menggelar seri kuliah spektakuler tentang Islamic science (sains Islam) bertajuk “Science in the Muslim World up to 1500 CE”.  Seri kuliah  menghadirkan Prof. Paul Lettinck sebagai pembicara utama, diadakan selama empat hari, yaitu tanggal 12-13 Januari dan 19-20 Januari 2016 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Depok.

Sains Islam Bukan Mitos

Paul Lettinck adalah pakar di bidang sejarah sains Islam. Dia pernah menjadi Guru Besar sejarah dan filsafat sains Islam di ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) Kuala Lumpur Malaysia. Meraih gelar Ph.D dua kali. Pertama dalam bidang fisika nuklir pada tahun 1973 dan kedua dalam bidang Semitik dari Vrije Universiteit Amsterdam Belanda pada tahun 1991.

Sejak dia berkunjung ke kawasan Afrika Utara (Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libiya), ia tertarik dengan budaya Arab dan peradaban Islam. Menurutnya, bahasa Arab itu bagus, luas dan kaya dengan berbagai jenis literature. Bersamaan dengan itu ia terus menekuni budaya semitik dan sejarah sains di dunia Islam.

Buku-buku Paul Lettinck antara lain; Aristotle’s Physics and its Reception in the Arabic World (Leiden: Brill, 1994), Aristotle’s Meteorology and its Reception in the Arabic World I (Leiden: Brill, 1999), Philoponus: On Aristotle Physics 5-8 with Simplicius: On Aristotle on the Void  (Bloomsbury, 2004).

Dia merupakan ilmuan Barat pengkaji budaya ketimuran yang mengakui kehebatan saintis-saintis Muslim. Menurutnya, peradaban Islam, termasuk di dalamnya sains, telah diteliti dengan serius oleh para akademisi di Eropa sejak zaman Renaissans. Sebut saja, misalnya, Thomas Erpenius di Leiden, yang aktif sampai akhir hayatnya di tahun 1624. Dan memang sekarang, tambahnya, ada sejumlah lembaga-lembaga kampus di seluruh dunia yang secara khusus melakukan penelitian sejarah sains Islam seperti di universitas-universitas Barcelona (pusat studi Historia de la Ciencia Árabe), New York (Columbia University), Yale (Amerika Serikat), Aleppo (Suriah), Frankfurt (Jerman), dan banyak lagi.

Hal ini membuktikan ternyata sains Islam itu diakui beberapa ilmuan Barat.

Meskipun Paul Lettinck banyak berbicara dari sisi sejarah, karena memang ini bidangnya, sudah cukup bukti bahwa sains Islam itu pernah ada dan berjaya. Sains di dunia Islam berbeda dengan sains modern dalam sisi paradigma, dan falsafah dasarnya – meskipun sains modern dikembangkan dari sains di dunia Islam. Jika saintis-saintis Muslim tidak melepaskan paradigm ketuhanan dalam sains, maka sains modern menurut Hossein Nasr sudah kehilangan ‘jejak’ Tuhan.

Acara ini merupakan seri kuliah sains Islam pertama di Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris. Kecuali narasumber lokal. Selain Paul Lettinck eri kuliah ini juga diisi oleh pembicara dalam negeri yaitu Dr Hamid Fahmy Zarkasy (Direktur Utama INSISTS) yang membawakan makalah berjudul Worldview Sebagai Landasan Sains Islam, Adnin Armas, MA (mantan Direktur Eksekutif INSISTS) berbicara tentang Fakhruddin Ar-Razi, Dr. Wendi Zarman (Peneliti INSISTS) mengetengahkan Konsep Alam dalam Pendidikan Sains Islam, dan Kandidat Doktor Usep Muhammad Ishaq (Peneliti Institut PIMPIN, Bandung) berbicara tentang Ibn Haitham.

Seri kuliah Islamic science ternyata mendapatkan sambutan luar biasa. Para peserta tidak hanya dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi dari Purwokerto, Jogjakarta, Bandung, Surabaya, dan Jombang. Di antara mereka ada yang dari mahasiswa, peneliti, dosen bahkan professor. Beberapa dari mereka memperkenalkan diri dari LIPI dan Balitbang Kemenag. Seorang professor dari fakultas Kesehatan Masyarakat UI aktif mengikuti seri kuliah sampai akhir. Beberapa kali dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dan rupanya dia cukup respek.

Baca Juga : Mencari Sains Islam

Menurut Paul Lettinck, masih banyak sekali karya-karya saintis Muslim dalam bentuk manuskrip yang tersimpan di perpustakaan di seluruh dunia yang belum dikaji. Ini sebuah tantangan besar, khususnya, ilmuan Muslim saat ini. Lettinck menyarankan karya-karya tersebut dilacak keberadaannya, didata, diedit dan diterbitkan. Setelah itu diteliti, diuraikan isi dan membandingkan dengan teks-teks sejenis dari periode sebelumnya. Untuk melakukan ini, menurut Letticnk diperlukan penguasaan bahasa Yunani (Greek), Latin, Arab dan Inggris. “Banyak proyek yang bisa digarap di bidang ini”, ujar Lettinck.

Dia merupakan orientalis yang objektif melihat sumbangan sains Islam terhadap sains yang berkembangan sejak pencerahan Eropa.

Contohnya Nicolaus Copernicus, mengadopsi karya-karya astronomi para ilmuwan Muslim di Abad Pertengahan. Lettinck mengemukakan bahwa Copernicus bisa saja mengambil ide-ide para astronom Muslim. Isu sejarah ini telah mengemuka sejak lama karena hampir seluruh isiDe Revolutionibus karya Copernicus sangat identik dengan karya Nashiruddin Ath-Thusi, Ibnul Shatir atau bahkan Abu Rayhan Al-Biruni.

Copernicus, dengan karyanya De Revolutionibus di awal abad 16 lalu ialah pionir revolusi sains Eropa. Ia figur paling bertanggung jawab atas wajah sains Barat modern, khususnya dalam astronomi serta kosmologi yang di kemudian hari disempurnakan oleh Galileo dan Isaac Newton.* Bersambung ke Sains Islam Bukan Mitos Bagian Ke 2

Sumber : https://www.hidayatullah.com 
Penulis : A. Kholili Hasib

Mencari Sains Islam

Kalau kita cermati, mengapa sarjana-sarjana ini berusaha keras mengangkat isu islamisasi, dewesternisasi, atau desekularisasi? Nampaknya mereka sepakat bahwa ilmu itu selamanya tidak pernah netral.
Mencari Sains Islam
Sumber Gambar : https://www.hidayatullah.com
BANYAK orang beranggapan bahkan berkesimpulan bahwa sains hanya untuk sains: scientia gratia scientiae. Atau berpendapat sains itu netral, dan tak pernah ada sains yang ditunggangi ideologi, kepercayaan atau agama tertentu. Maka istilah “sains Islam” itu hanya isapan jempol, ilusi belaka, kata mereka. Dan upaya-upaya islamisasi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh beberapa kalangan selama ini hanya khayalan dan lebih ke arah justifikasi sains dengan dalil-dalil agama. Istilah derogatifnya, “ayatisasi” sains.

Itulah beberapa kecurigaan umum yang terjadi di kalangan beberapa sarjana belakangan. Namun, sebelum kita terburu-buru berkesimpulan seperti di atas, ada baiknya kita mencoba teliti lagi, apa betul sains itu netral, apa memang dalam Islam tidak ada sains?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan mengajak kita menjumpai atau mencari ulang beberapa hal penting terkait dengan sains; definisinya, sejarahnya, dan apa yang terjadi di dunia Islam terkait dengan diskursus sains.

Untuk itulah INSISTS cabang Malaysia telah menggelar diskusi bersama Dr Syamsuddin Arif untuk mengotak-atik kembali sains dan hubungannya dengan Islam. Pada kesempatan itu Ustadz Syams – begitu sebagian memanggilnya – melemparkan poin-poin yang mendesak untuk dibahas, yakni tentang definisi sains, peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah sains, dan yang terakhir diskursus Islamisasi sains.

Menurutnya, selama ini sains tidak mempunyai definisi tunggal. Bahkan para saintis tak pernah memikirkan apa itu sains walaupun ia melaksanakan sains sehari-hari. Walaupun demikian ada rumusan secara sengaja atau tidak sengaja disepakati dan dibuat pijakan bahwa sains itu merupakan upaya manusia untuk mengerti, memahami, dan menjelaskan alam tabi’i yang terbatas pada alam syahadah (dapat dicerap oleh panca indera).

Sedang yang tak bisa ditangkap oleh panca indera tidak lagi masuk obyek sains, menurut rumusan tersebut.

Kalau merujuk ke akar katanya, istilah sains diambil dari bahasa Latin scio, scire, scientia, yang bermakna “aku tahu, mengetahui, pengetahuan” tentang apapun oleh siapapun dengan cara apapun dalam perjalanan waktu telah dan terus mengalami pengerucutan maknawi (semantic reduction) hingga sekarang dibatasi untuk menunjuk pengetahuan manusiawi (bukan ilahi) mengenai alam jasmani (bukan rohani) dan alam nyata (bukan alam ghaib) secara empiris, induktif dan quantitatif.

Dengan demikian, yang disebut sains itu hanyalah seperti fisika, biologi, kimia, dan cabang-cabangnya yang meliputi astrofisika, geofisika, thermofisika dan lain-lain, dan di luar itu bukanlah sains.

Nampaknya, sains sekarang yang sangat sempit ini adalah hasil reduksi yang telah berabad-abad dan menjadi cara pandang yang mapan melalui icon utamanya, yakni tokoh-tokoh sains seperti Isaac Newton dengan Newtonian Revolution-nya, Albert Einstein dengan teori relativitasnya, Neils Bohr dengan teori atomnya, Charles Darwin dengan teori evolusinya, Antoine Laurent Lavoisier dengan revolusi kimianya, Johannes Kepler dengan Motion of the Planets-nya, Nicolaus Copernicus dengan Heliocentric Universe-nya, dan lain
sebagainya.

Lalu seperti apa sains sebelum pengertiannya menyempit? Nah, inilah permasalahannya. Ketika sains yang menyempit itu sudah “established”, orang cenderung melupakan sejarah. Padahal sejarah itu yang menguatkan akar suatu peradaban. Suatu peradaban terlihat kukuh dan kokoh kalau ia didukung dengan histori yang mapan. Oleh karena itu, melihat sejarah sains ke belakang, sejauh apapun jaraknya, amat penting bagi seseorang.

Di masa peradaban Islam berpapasan dengan keilmuan dari luar, utamanya Yunani, maka pemimpin Islam dan ulamanya berdiskusi panjang apakah ilmu ini perlu diambil atau ditinggalkan.

Diskusi ini terjadi cukup sengit di antara ulama dan pemimpin Umat Islam saat itu, antara Khalifah Al-Makmun dan Imam Ahmad bin Hambal dan diteruskan oleh al-Ghazali dan Ibn Rusd, bahkan Ibn Taimiyyah juga mempunyai tempat yang tidak kalah pentingnya mengenai hal ini.

Menurut Al-Ghazali, sains itu manusiawi (kasbi), yakni ilmu yang didapatkan oleh manusia melalui upaya yang dilakukannya. Ilmu seperti ini tidak pernah mencapai puncak kepastian, tapi hanya mendekatinya saja.

Sedangkan menurut Ibn Rusd, sains itu tidak pasti, tapi ia bisa benar. Karena, menurutnya, kalau ia tidak benar pasti tidak ada gunanya. Nyatanya, sampai sekarang ia digunakan berguna kepada banyak orang.

Jadi, dalam sejarahnya, yang dimaksud sains itu sebenarnya ilmu yang secara langsung tidak diajarkan nabi. Sebab itulah ia disebut kasbi dan karena itu pula ia menjadi perdebatan. Namun walaupun menjadi perdebatan, ulama-ulama dulu mencoba memproses ilmu itu dengan tasawwur Islami (islamic worldview). Dan ilmu ini belum mengalami penyempitan sebagaimana saat ini.

Naifnya, sains sekarang yang sudah menyempit pengertiannya itu sudah terlanjur menjadi instrumen untuk mengukur kemajuan suatu peradaban. Makanya Islam sekarang dianggap mundur gara-gara tidak banyak memegang peranan dalam sains dan teknologi.

Bagaimana umat Islam menyikapi kondisi keterbelakangannya terkait dengan kemajuan sains?

Menurut doktor yang sempat “nyantri” selama empat tahun di Frankfurt ini, sempat ada tiga arus pendapat dalam merespon sains dari kalangan orang Islam. Tapi semuanya menurutnya bermasalah. Arus pertama, menyatakan ”Islam Yes dan Sains No!”; arus kedua menyatakan ”Islam Yes dan Sains Yes!”; dan ketiga menyatakan ”Sains Yes dan Islam no”.

Kenapa ketiga-tiganya bermasalah? Hal ini karena yang pertama sangat ekstrem tidak mau tahu tentang sains. Kelompok ini dikomandani oleh Syeikh al-Bakri. Sedangkan kelompok kedua, walaupun kelihatannya hendak mengkompromikan antara Islam dan sains, ternyata ending-endingnya mau menundukkan agama kepada sains, dimana ayat-ayat agama harus ditafsir mengikut selera sains. Kelompok ini dimotori oleh Ahmad Khan, Afghani. Sementara yang ketiga, sangat ekstrem menolak Islam dan sangat pro sains. Menurut kelompok ini, untuk memajukan Islam haruslah mempelajari sains. Jika setelah belajar sains tidak juga maju-maju, maka berarti yang bermasalah adalah agamanya, maka tinggalkan agama itu dan teruskan gunakan sains. Kelompok ini dimotori oleh Thaha Husayn.

Selanjutnya pembicara menyebut empat macam cara bagaimana orang menghidupkan sains dalam Islam; cara saintisis, historis, sosiologis, dan yang holistik.

Pertama itu cara saintis. Cara ini seperti yang dilakukan Akhmad Khan di atas. Namun ujung-ujungnya “westernisasi Islam”, memaksa Islam mengikuti gaya sains. Masih cara-cara saintis, apa yang dilakukan Tantawi Jawhari, Maurice Bucaille, dan Harun Yahya adalah upaya yang disebut oleh pemateri sebagai ”saintifikasi al-Quran”.

Kedua itu cara historis. Cara ini bagaimana kembali lagi ke sejarah. Menghidupkan sejarah lama dengan mengangkat lagi sains-sains di masa ulama silam. Ada dua aliran pegiat cara ini. Pertama aliran orientalis seperti Ernest Renan dan Max Horten dan kedua aliran revisionisme seperti Sabra, Sezgin dan Saliba.

Ketiga adalah cara sosiologis. Cara ini adalah apa yang dijalankan oleh Ziauddin Sardar dan kawan-kawannya yang mengkritik sains sebagai produk masyarakat Barat, sebagai bagian dari peradaban modern yang membawa nilai-nilai khasnya yang belum tentu pas jika diterapkan oleh bangsa-bangsa lain.

Lalu yang Keempat itu cara holistik. Cara ini dibagi kepada empat model. Pertama apa yang dilakukan oleh Sayyed Hossein Nasr yang dikenal dengan “desekularisasi ilmu”. Kedua, apa yang dijalankan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang dikenal dengan “dewesternisasi ilmu-ilmu kontemporer”. Ketiga, yang diusung oleh Ismail Raji al-Faruqi yang masyhur dengan ”Islamisasi Ilmu”.

Menurut pemateri, kerja Nasr cukup mendalam dan menyeluruh. Namun sayangnya, ide desekularisasinya ternyata ditunggangi oleh pluralisme agama sehingga yang beliau kampanyekan adalah konsep “scientia sacra”. Sementara kerja keras al-Faruqi hanya untuk mengislamkan ilmu-ilmu sosial dan tidak ilmu-ilmu alam (natural sciences). Karena menurutnya, yang perlu diislamkan adalah ilmu-ilmu sosial yang memang penuh penyakit yang komplikasi. Sedangkan sains natural menurutnya sudah Islami, sehingga tak perlu lagi diislamkan. Sedangkan menurut Profesor Naquib al-Attas, pada ilmu-ilmu kontemporer saat ini, ada virus yang telah menjadikannya tidak Islami. Ilmu pengetahuan modern saat ini telah dijangkiti oleh cara-cara pandang non-Islam yang pada gilirannya menjadikan para ilmuwan Muslim semakin menjauh dari Islam.

Oleh karena itu, untuk mengatasinya perlu mengenal virus-virus itu dan cara membunuhnya. Virus-virus itu berupa sekularisme, pluralisme, ateisme, liberalisme, dan isme-isme lainnya. Jika semua virus itu bisa dihilangkan, maka ilmu-ilmu itu selanjutnya akan memasuki proses islamisasi.

Kalau kita cermati, mengapa sarjana-sarjana ini berusaha keras mengangkat isu islamisasi, dewesternisasi, atau desekularisasi? Nampaknya mereka sepakat bahwa ilmu itu selamanya tidak pernah netral. Ia selalu diboncengi ideologi di mana ia tumbuh dan berkembang. Jika demikian adanya, maka setiap ilmu punya konsekuensi-konsekuensi baik positif maupun negatif, baik jangka pendek ataupun jangka panjang, secara terbatas ataupun luas, dan bersentuhan dengan seluruh aspek kehidupan manusia.

Sains, dengan demikan juga merupakan pengetahuan yang tidak berdiri di ruang hampa. Ia merupakan upaya-upaya manusia untuk memahami alam tabi‘i ini pasti tidak netral. Hanya saja mungkin ada yang sifatnya universal, seperti teknologi dan metodologi, namun ada yang partikular yang sifatnya eksklusif pada masing-masing aliran seperti yang ontologikal, epistemologikal dan aksiologikal yang berbeda-beda yang terdapat pada masing-masing aliran. Semua itu berlaku di dunia sains.

Sumber : https://www.hidayatullah.com
Penulis : Akhmad Rafi‘i Damyati